Sukarno Dan 75 Tahun Pancasila
Keterangan Gambar : Gambar: mediavector.blogspot.com
Oleh: Fencenel Harefa
Bertepatan hari ini, setiap tanggal 1 Juni rakyat Indonesia memperingati lahirnya Pancasila. Moment pertama kali “Pancasila” diperkenalkan lalu menjadi dasar filosofi bangsa dan negara Indonesia sampai sekarang. Hari ini harus selalu diingat semua generasi sebagai penerus sejarah tersebut. Generasi sekarang telah diamanatkan menjaga keutuhan serta fungsi Pancasila dari ancaman kelompok tertentu dalam bingkai persatuan.
Menyusun suatu dasar negara, apalagi dengan latar belakang rakyat Indonesia yang sangat beragam, sangat mudah menimbulkan perdebatan tafsir menurut perspektif berbagai golongan, termasuk antara kaum nasionalis dan agama. Namun itu tidak menjadi halangan, terdesaknya Jepang di Perang Dunia II menjadi momentum founding fathers dan rakyat bekerja sama dengan mengesampingkan kepentingan masing-masing.
Baca Lainnya :
- Apa Benar Si Terpelajar Masih Butuh Organisasi?0
- GMNI FISIP UDA MENYESALKAN PERUMPAMAAN “SUARA ANJING”0
- Tanda Tanya Terhadap Tanda Larangan0
Dua belas tokoh pergerakan nasional dipercayakan memberi pandangan mengenai dasar negara Republik Indonesia, beberapa diantaranya: Muhamad Yamin, Dr.Supomo, dan Ir.Sukarno. Tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang dari berbagai etnis dan golongan, ditambah 8 orang Jepang sebagai anggota kehormatan. Sidang resmi pertamanya berlangsung tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 di bekas gedung Volksraad.[1]
Sidang dibuka dengan mendengarkan pidato Muhammad Yamin yang mengemukakan lima poin: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan kesejahteraan. Tanggal 31 Mei giliran Mr. Soepomo berpidato, beliau menamakan rumusan dasar negara dengan “Dasar Negara Indonesia Merdeka”, dengan butir-butir yakni: Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, dan Keadilan Sosial.
Pancasila Lahir Dari Sukarno
Tanggal 1 Juni 1945, Ir.Sukarno naik ke mimbar menyampaikan buah-buah pikirannya. Telah lama ia persiapkan hal tersebut sebagai hasil perenungan mengenai dasar negara selama pengasingan di Flores, dengan uraian sebagai berikut:
Pertama, Kebangsaan. Aku menguraikan batas-batas dari kebangsaan kami, jika seorang anak kecil melihat peta dunia, “ia dapat menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan kepulauan diantara Samudera Pasifik dan Lautan Hindia dan di antara benua Asia dan Australia. Bangsa Indonesia, karena itu, meliputi semua orang yang bertempat tinggal di seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang di ujung utara Sumatera, sampai Merauke di Papua.”
Kedua, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan. “Itu bukanlah Indonesia Uber Alles (di atas segala-galanya), Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia. Ingatlah kata-kata Gandhi, ‘saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan’”. Aku mengingatkan pandangan yang tidak benar, yang menganggap ada keunggulan dari bangsa Arya (Jerman era NAZI) yang berambut jagung dan bermata biru. Dan aku menyampaikan kepada sidang, “Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme.”
Ketiga, Demokrasi. Selama berabad-abad negeri kami hidup dengan kebiasaan asli berupa musyawarah dan mufakat. Ini adalah perundingan demokratis model Asia, sebagai seseorang yang meyakini bahwa kekuatan terletak dalam pemerintahan atas dasar perwakilan. “Kita tidak akan menjadi negara untuk satu orang atau satu golongan,” tetapi “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.”
Keempat, Keadilan Sosial. “Apakah kita mau merdeka yang kaum kapitalis-nya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, karena merasa diayomi oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”. “Kita tidak mengharapkan persamaan politik semata. Kita ingin Demokrasi Sosial. Demokrasi Ekonomi. Satu dunia baru di dalam mana terdapat kesejahteraan bersama.”
Kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa. “Marilah kita menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Biarlah masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya tiap-tiap orang menjalankan ibadahnya sesuai dengan cara yang dipilihnya. Marilah kita jalankan asas lima dengan cara berkeadaban: Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat-menghormati satu sama lain.”[2]
Sukarno punya alasan filosofis menguraikan dasar negara dalam lima pokok. Ia menjelaskan, “Rukun Islam ada lima. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindra. Jumlah pahlawan Mahabharata, Pendawa, juga lima. Sekarang asas-asas di atas dasar mana kita akan mendirikan negara, lima pula bilangannya”. Pada akhirnya Sukarno menamakan “PANCASILA”(bahasa Sansekerta) berarti “lima prinsip atau asas”.[3]
Hatta sebagai saksi hidup peristiwa itu mengatakan, “Pidato yang menarik perhatian anggota Panitia dan disambut dengan tepuk tangan yang riuh. Sesudah itu, sidang mengangkat suatu Panitia Kecil untuk merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Bung Karno itu.”[4]
Selanjutnya, hasil panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan, diketuai Sukarno sendiri, menyerahkan hasil rumusan mereka kepada Panitia BPUPKI dengan nama “Piagam Jakarta” pada 22 Juni 1945. Namun sebagian redaksi kalimat pada sila pertama Pancasila, tidak disetujui oleh para pemimpin umat Kristen Indonesia timur, karena ada kesan membedakan pemeluk agama Islam dan Non-Islam. Maka diputuskan perkataaan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dihapus, kemudian diserahkan bersama Undang-Undang Dasar dalam satu dokumen kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945. Tanggal 29 Agustus 1945, Komite Nasional mengesahkannya sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang kita kenal sampai sekarang.[5]
Upaya Menyingkirkan Sukarno
Pancasila adalah bagian yang tidak akan pernah dipisahkan dari bangunan bangsa dan negara, sebab ia sendiri lahir bersama-sama dengannya. Pancasila memiliki kekuatan ajaib untuk menjadikan negara beragam etnis ini bersatu melawan imperialisme, kolonialisme, kapitalisme yang mencoba hadir dan menguasai. Namun dalam perjuangannya lebih sulit ketika anak bangsa berbalik menjadi lawan dari perjuangan itu sendiri. Seperti sudah meramal masa depan, Sukarno pernah berujar, “Perjuangan ku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”.
Banyak peristiwa kelam mengiringi Pancasila, pasca Gerakan 30 September 1965, awal dimulai proses transisi politik nasional dari Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba). Kebijakan-kebijakan pemerintah Sukarno yang dulu populis, berubah 180 derajat di era Soeharto, diganti program pertumbuhan ekonomi kapitalistis.
Upaya-upaya Orde baru mulai menerjemahkan kembali isi Pancasila untuk meredam gerakan oposisi. Tahun 1968, pemerintahan Soeharto membentuk Laboratorium Pancasila di kampus IKIP Malang. Guna membersihkan Pancasila dari tafsiran kiri, khususnya pada sila kedua sering dihubungkan dengan Internasionalisme. Juga sila kelima di mana kata “keadilan sosial” ditafsirkan sebagai sosialisme. Langkah sistematis terus dilakukan Orba demi menghilangkan bayang-bayang Sukarno termasuk hari-hari peringatan nasional. Pada 1971, sejarawan militer Nugroho Notosusanto mengusulkan Hari Kelahiran Pancasila (1 Juni) dihapus dan diganti oleh Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober). Nugroho beralasan sebelum Sukarno, Pancasila sudah dikonsepsikan oleh beberapa pemikir seperti M. Yamin dan Soepomo.[6]
Tak berhenti pada kajian dan penghapusan hari peringatan, kali ini Soeharto dengan terang-terangan mengokohkan posisi politik sebagai presiden. Pernah dalam pidatonya di Markas Kopassandha, Soeharto sesumbar, “yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila”. Selain menjadikan dirinya sebagai Pancasila itu sendiri, ia pada saat itu menghendaki asas tunggal berlaku, artinya tidak boleh ada mazhab lain diluar Pancasila. Pernyataan itu mengundang reaksi dari 50 tokoh bangsa yang khawatir Soeharto semakin menyalahgunakan kekuasaan. Nama-mana seperti Mohammad Natsir, Ali Sadikin, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, Syafruddin Prawiranegara, Hoegeng Imam Santoso dan tokoh-tokoh nasional lainnya, mengajukan keberatan. Dituliskan dalam sebuah petisi berjudul “Ungkapan Keprihatinan”, dan dibaca di depan para anggota DPR-RI di Senayan, 13 Mei 1980. Namun semua upaya itu sia-sia, para penanda tangan petisi tersebut dikucilkan dari kehidupan politik dan ekonomi pada kemudian hari.[7]
Setelah Soeharto jatuh, ancaman utama dari Pancasila bukan hanya sisa-sisa kekuatan Orba, tetapi juga gerakan kelompok radikal agama yang semakin jelas. Sektor pendidikan kini dimasuki secara bertahap. Pada akhir Maret 2016, beredar video deklarasi mahasiswa bersumpah setia mendukung sistem pemerintahan Khilafah di salah satu universitas ternama.
Selain itu, transisi kekuasan yang dilakukan saat pemilu akan selalu dimanfaatkan kelompok-kelompok konservatif maupun pragmatis, guna menjaring sebanyak mungkin dukungan politik dari rakyat. Imbasnya bisa dirasakan sendiri selama pemilu tahun 2019, banyak isu yang memarginalkan individu atau golongan tertentu, agar mayoritas pemilih dapat berpihak kepada siapa. Ini sengaja ditebar dalam kepentingan antara para Elite dan Ormas afiliasi-nya seperti model Simbiosis Mutualisme, sehingga permusuhan antara rakyat merupakan buahnya.
Ancaman paling serius kini bersemayam dalam struktur kekuasaan Republik, mereka diidentifikasi sebagai Oligarki yang menjadi sumber kegaduhan nasional. Nilai kesejahteraan sosial kini direndahkan dalam ukuran untung dan rugi ekonomi. Segala peraturan disahkan atas nama kemakmuran rakyat, sehingga dapat dilihat hasilnya antara barisan rumah mewah dan kumpulan perumahan kumuh yang dipisahkan pagar saja. Dan persamaan hak warga negara kini menjadi lelucon di halaman-halaman depan berita nasional dalam separuh tahun 2020. Para pembaca akan mengelus dada melihatnya.
KONKLUSI
Orang-orang yang menerima Pancasila tentu sedang dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Berbagai kepentingan terhadap Pancasila sudah mengubah nilai-nilai fundamental-nya pasca Sukarno digulingkan. Rakyat dan mahasiswa berkewajiban memikul tanggung jawab mengembalikan kedudukan dan arti tulen Pancasila ke tempat semestinya.
Selain itu, para pembajak Pancasila tengah berupaya memperkokoh kedudukan mereka, serta mengalirkan keuntungan dengan berbagai macam dalil untuk membenarkan setiap tindakannya. Harus ada sikap sepakat dari berbagai elemen rakyat untuk bahu membahu membangun barisan memprotes segala ketidakadilan, menjaga prinsip-prinsip bernegara, agar tidak direduksi sesuka hati oleh kekuasaan.
Sukarno pernah mengutarakan kelima butir Pancasila dapat disatukan menjadi satu dasar, yaitu Gotong Royong. Nilai yang sudah ada pada rakyat Indonesia sejak dulu, berasal dari sawah, ladang, kampung, kota sampai pada tempat-tempat yang membutuhkan peran banyak orang. Ia gali dan menjadi dasar utama berdirinya bangsa Indonesia.
75 tahun bukanlah tempo yang sebentar, ketidaksempurnaan menjadi bagiannya, tetapi memungkinkan setiap orang berhubungan dengan saudara sebangsa yang berbeda latar belakang, dari teman, tetangga, sampai keluarga. Dalam satu rasa nasionalisme, satu bangsa, dan satu bahasa yang sama. Tentu semua berharap ia dapat bertahan dan berlanjut dalam waktu yang lebih lama.
Merdeka !
***
*Opini ini kembali direvisi dalam memperingati 75 tahun lahirnya Pancasila.
[1] N Raditya, Iswara. “Sejarah Hari Lahir Pancasila”. tirto.id, 1 Juni 2019, https://tirto.id/sejarah-hari-lahir-pancasila-peran-bpupki-dan-ppki-cpMp, 1 Juni 2020.
[2] Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, (Yayasan Bung Karno, Jakarta, 2014), hlm. 240-241.
[3] Ibid., 242.
[4] Ibid., 377.
[5] Ibid., 378.
[6] Jusuf, Windu. “Upaya Soeharto Mengkalim Pancasila Sukarno”. tirto.id, 1 Juni 2017, https://tirto.id/upaya-soeharto-mengklaim-pancasila-dari-sukarno-cpMt, 1 Juni 2020.
[7] N Raditya, Iswara. “Petisi 50: Menggugat Soeharto yang Menyalahgunakan Pancasila”. tirto.id, 5 Mei, 2020, https://tirto.id/petisi-50-menggugat-soeharto-yang-menyalahgunakan-pancasila-cLtN, 31 Mei 2020.